English French German Spain Italian Dutch Russian Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

Saturday, February 4, 2012

Penyelamatan Tepat Waktu Buat Suci dan Sri


Salah satu hal yang menyebabkan orangutan terancam adalah fakta bahwa di Indonesia, 80 persen orangutan berada di luar wilayah konservasi. Mereka pun berada di luar wewenang Direktorat Konservasi dan Perlindungan Alam Kementerian Kehutanan. Maka, orangutan-orangutan yang berada di luar kawasan konservasi berada di bawah 'kemurahan hati' para pemegang hak pengelolaan hutan.

Sial bagi orangutan jika para pemegang hak pengelolaan hutan adalah pengusaha kelapa sawit yang tidak menyediakan cukup ruang bagi orangutan untuk bergerak, atau malah menganggap mereka sebagai hama. Orangutan memang suka memakan buah kelapa sawit, setidaknya buah yang berusia di bawah 3 tahun.

Deputi Direktur Konservasi Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI) Aldrianto Priadjati, Kamis (2/2), mengatakan bahwa daya jelajah orangutan bisa mencapai 100-150 hektar per individu orangutan. Sementara, dari kebun-kebun sawit yang ia kunjungi pada 17-22 Januari 2012 lalu di Kalimantan Timur, area konservasi di dalam perkebunan tidak sampai 5-10 hektar. Ia mengunjungi beberapa perkebunan kelapa sawit tersebut untuk melihat kondisi orangutan.

Aldrianto adalah bagian dari tim penyelamatan gabungan yang tersdiri dari RHOI, Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), dan Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Kalimantan Timur (BKSDA Kaltim). Mereka sengaja menyisir beberapa perkebunan sawit di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur untuk melihat kondisi orangutan di lapangan setelah muncul pemberitaan-pemberitaan akan pembunuhan primata tersebut.

Secara tidak sengaja, tim berhasil menemukan dua individu (ibu dan anak) di lahan perkebunan milik PT Bakacak Himba Bahari. Mereka sudah pernah ke wilayah perkebunan itu sebelumnya, hanya tidak menemukan orangutan meski melihat ada sarang-sarang baru.

"Kami menunggu jam 5-10 pagi, lalu 4-7 sore, karena pada jam-jam itulah orangutan ada di sarangnya. Di luar jam tersebut, orangutan akan mencari makan atau mengeksplorasi wilayah, akan makin susah bertemu."

Dalam kunjungan hari itu, mereka mendapat informasi dari petugas keamanan yang mengatakan ada orangutan yang sedang dikepung setelah semalaman dikejar-kejar. Petugas keamanan tersebut pun meminta tim untuk tidak mengatakan bahwa informasi itu datang dari dia. Tak berapa lama, tim penyelamatan pun mendapati beberapa orang yang sedang mengelilingi orangutan betina berusia 25 tahun dan anak orangutan, berusia 6 tahun, dalam gendongan.

Ia terduduk tenang sekitar 500 meter dari kebun persemaian, kemungkinan kelelahan setelah semalam suntuk dikejar-kejar. Padahal biasanya tak mudah memotret orangutan di alam liar atau mendapati mereka dalam kondisi diam.

Aldrianto melihat ada beberapa orang dalam rombongan itu yang membawa parang. "Kita tidak tahu apa yang akan mereka lakukan. Parang bisa digunakan sebagai alat menyerang atau untuk mempertahankan diri. Tapi mereka sempat membuang parang melihat kami," kata dia.

Beberapa orang yang mengelilingi induk dan anak orangutan itu sempat membantu tim penyelamatan untuk membius induk orangutan dan menanamkan chip pelacak. Namun sesudahnya, mereka seolah meminta balasan. Ucapan 'terima kasih' tak cukup buat rombongan yang diduga tidak berasal dari wilayah lokal, jika didengar dari aksen dan dialeknya.

Tim Aldrianto tak berani membayangkan apa yang akan terjadi pada induk dan anak orangutan itu jika mereka datang lima atau sepuluh menit lebih lambat. Kedatangan mereka benar-benar tepat pada waktunya. Lebih untung lagi saat mereka kemudian mengetahui bahwa si induk tengah hamil tiga bulan.

Induk dan anak orangutan yang kemudian dinamai Suci dan Sri itu kemudian dipindahkan ke Hutan Kehje Sewen, Kutai Timur, milik RHOI seluas 86.450 hektar. Yang menarik, ketika Suci yang dalam keadaan dibius tiba di Kehje Sewen, ia tiba-tiba siuman dan langsung memanjat pohon. "Mungkin karena mencium bau hutan, tapi itu belum pernah kami lihat sebelumnya. Sangat mengharukan," kata Aldrianto lagi.

Sebenarnya, Aldrianto melihat beberapa sarang orangutan, tetapi mereka tak sempat 'menyelamatkan' orangutan-orangutan lain yang kemungkinan besar ada di lahan perkebunan tersebut.

Keberadaan orangutan di lahan-lahan perkebunan kelapa sawit juga diakui oleh Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Kalimantan Timur (BKSDA) Tandya Tjahjana. Ia sudah berkali-kali mengirimkan surat pada banyak perusahaan kelapa sawit di Kalimantan Timur dan hanya mendapat sedikit jawaban. Balasannya pun semua mengatakan, "tidak ada orangutan di perkebunan mereka."

Mungkin perusahaan-perusahaan kelapa sawit ini tidak mau repot-repot mencari tahu. Tetapi, mungkin bisa saja orang-orang lapangan di perusahaan kelapa sawit tersebut tidak bisa mengenali sarang orangutan. "Pengetahuan mereka terbatas," kata Tandya.

Ada hal positif dari meledaknya pemberitaan soal pembunuhan orangutan, perusahaan-perusahaan kelapa sawit jadi lebih mendengar permintaan BKSDA. "Mereka juga takut pada sanksi hukum. Orang-orang bisnis ini tidak maulah kena kasus hukum," ujar Tandya.

Belajar dari pengalaman penyelamatan dan pelepasliaran Suci dan Sri, Tandya juga ingin BKSDA Kalimantan Timur untuk meningkatkan frekuensi patroli ke kebun-kebun kelapa sawit.

Siapa sebenarnya para pemburu yang mengelilingi Suci dan Sri pada hari itu?

Tandya dan Aldrianto hanya bisa berasumsi akan motivasi mereka. Namun Presiden Direktur RHOI Jamartin Sihite mencatat kini muncul tren perburuan oportunistik. "Ujung-ujungnya memang uang, tapi apakah pekerjaan mereka sehari-hari berburu orangutan, kami belum bisa pastikan," kata dia.

Yang pasti, banyak orangutan yang terlempar dari habitat aslinya karena perluasan lahan kebun kelapa sawit. Orangutan-orangutan yang terlempar dari habitat aslinya itu, jika tertangkap, kemudian dimanfaatkan untuk keuntungan ekonomi. "Misalnya, induk dan anak tertangkap, ada yang lihat anaknya lucu, ya dijual," kata Jamartin.

Tapi Jamartin juga mengingatkan, setiap satu bayi orangutan di kandang, berarti ada satu induk orangutan yang mati. Alasannya, orangutan akan terus menggendong bayinya sampai berusia tujuh tahun. Selama itulah sang induk mengajarkan pada bayinya cara hidup di alam liar.

Jika bayi orangutan sudah tidak mendapat pengetahuan itu dari induknya, maka butuh waktu tahunan untuk menyiapkan si orangutan ini untuk mengajarkan ulang soal hutan.

Padahal, karena induk orangutan cenderung bertahan di wilayahnya, ini menjadikan orangutan betina dan bayinya lebih rentan sebagai korban. Dengan situasi seperti ini, tak heran jika kemudian populasi orangutan turun drastis.

Suci dan Sri diselamatkan pada saat yang tepat. Tetapi apa yang terjadi pada orangutan-orangutan lain di wilayah perkebunan kelapa sawit? Di sinilah Jamartin menegaskan perlunya perkebunan kelapa sawit untuk mulai memperhatikan keberadaan satwa di areal mereka.

"Penyelamatan dan pelepasliaran harusnya jadi opsi terakhir. Yang utama adalah bahwa perusahaan-perusahaan ini harus menunjukkan strategi pertanggungjawaban menjaga satwa dan biodiversitas di lahan usaha mereka. Biaya-biaya untuk menjaga kelestarian hutan harus menjadi bagian dari ongkos produksi mereka," tambahnya lagi.       

No comments:

Post a Comment